Lahan Gambut
Dari total lahan basah di Indonesia sekitar 21 juta
ha berupa lahan gambut yang tersebar di tiga pulau besar, yaitu Sumatera,
Kalimantan, dan Papua (Wahyunto et al., 2005; 2006). Lokasi tanah gambut
tersebar luas terutama di pulau Sumatera 6,8 juta ha, dan sebagian besar
diantaranya berada di Kepulauan Riau (4 juta ha). Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa di Kepulauan Riau sebanyak 200.000 ha lahan gambut sudah
diusahakan untuk penanaman kelapa sawit Lim (2007).
Lahan gambut merupakan
lahan marginal untuk pertanian karena kesuburannya yang rendah, pH sangat
masam, dan keadaan drainasenya yang jelek. Ciri utama dari lahan gambut adalah
kandungan karbonnya sangat tinggi. Lahan gambut mempunyai kandungan karbon
minimal 18% (berdasarkan berat kering) dan ketebalan minimal 50 cm.
Timbunan karbon yang tinggi tersebut terbentuk karena keadaan jenuh air
(drainase jelek) pada lahan yang awalnya timbunan berupa danau dangkal. Karbon
yang tersimpan di dalam tanah gambut bersifat tidak stabil. Apabila lahan
gambut didrainase, maka bahan organik (yang menyimpan karbon) akan mudah
terdekomposisi membentuk CO2, yaitu gas rumah kaca terpenting yang menyumbang
pada pemanasan global.
Emisi CO2 terjadi secara bersamaan dengan pemadatan
(konsolidasi) dan kedua proses tersebut menyebabkan penurunan permukaan
tanahgambut (subsiden). Subsiden yang terjadi secara cepat akan menyebabkan
terbentuknya cekungan, sehingga lahan akan mudah mengalami kebanjiran. Selain
itu subsiden akan menyebabkan lahan gambut kehilangan kemampuan menyangga
kualitas lingkungan. Lahan gambut mempunyai daya simpan air sangat tinggi, dan
sifat tersebut akan hilang apabila lahan gambut sudah mengalami subsiden.
Potensi
Terhadap Pertanian
Sebagian besar lahan
gambut mempunyai tutupan lahan berupa hutan, belukar, dan sebagian dibuka untuk
pengembangan pertanian dan perkebunan. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian
dan perkebunan berkembang pesat sejak tahun 1970an, seiring dengan perencanaan
pemerintah membuka lahan rawa pasang surut seluas 5,25 juta ha untuk mendukung
program transmigrasi dan peningkatan produksi padi nasional. Namun tidak semua
lahan gambut yang dibuka dan ditempati transmigrasi berhasil dengan baik bahkan
beberapa lokasi ditinggalkan dan para transmigran dipindahkan (relokasi) karena
dinyatakan tidak sesuai untuk pertanian (Noor, 2001).
Sebagian lahan gambut
tergolong sesuai untuk berbagai komoditas pertanian, baik tanaman pangan,
hortikultura, maupun perkebunan. Sebagian lainnya tergolong tidak sesuai,
dengan faktor pembatas utama kematangan gambut yang masih mentah (fibrik),
drainase sangat terhambat, bahaya banjir (tergenang), asam organik, kadar hara,
dan lingkungan perakaran. Dari segi biofisik dan kimia lahan gambut dengan
kematangan saprik dan hemikt cukup sesuai untuk pengembangan berbagai komoditas
pertanian, baik untuk tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah), maupun
tanaman tahunan.
Untuk komoditas
pertanian tanaman pangan seperti palawija, sayuran, dan buah-buahan semusim,
serta tanaman tahunan/perkebunan/hortikultura, gambut yang paling cocok adalah
gambut dangkal dengan ketebalan < 60 cm dan kematangan gambut saprik atau
kedalaman <140 cm jika ada sisipan/pengkayaan bahan mineral. Tanaman yang
umum diusahakan dan kesesuaian lahannya cocok dikembangkan adalah padi sawah,
padi gogo,jagung, ubikayu, ubi jalar, sayuran (kangkung, bayam, kemangi,
pakcoy, caisin, terung, cabai merah, kacang panjang, dan lainnya), buah-buahan
seperti lidah buaya, pepaya, semangka, melon, dan nanas. Sedangkan tanaman
tahunan/perkebunan yang sesuai di lahan gambut adalah kelapa sawit dan karet.
Pertanian
Berkelanjutan di Lahan Gambut
Untuk mengurangi penyusutan dan subsidence dalam penggunaan lahan gambut
sebagai lahan pertanian dan menjaga keberlanjutannya, ada beberapa hal strategi
pengolahan yang benar dilakukan baik untuk pengolahan air, pengolahan tanah,
dan pengolahan tanaman.
I.
Pengolahan air
1.
Drainase
Drainase merupakan prasyarat untuk usaha pertanian, walaupun hal tersebut bukanlah suatu yang mudah untuk dilakukan mengingat
sifat dari gambut yang bisa mengalami penyusutan dan kering tidak balik akibat
drainase, sehingga sebelum mereklamasi lahan gambut perlu diketahui sifat
spesifik gambut, peranan dan fungsinya bagi lingkungan. Drainase yang baik untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap
mempertahankan batas air kritis gambut akan tetapi tetap tidak mengakibatkan
kerugian pada tanaman yang akan berakibat pada hasil. Intensitas drainase
bervariasi tergantung kondisi alami tanah dan curah hujan. Curah hujan yang tinggi (4000-5000 mm per
tahun)(Ambak dan Melling, 2000) membutuhkan sistem drainase untuk meminimalkan
pengaruh banjir. Bagi tanaman
perkebunan, usaha perbaikan drainase dilakukan dengan pembuatan kanal primer,
kanal sekunder dan kanal tersier.
2.
Irigasi
Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif
terhadap stress air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan
mempermudah irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress
air dan penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman semusim,
pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan
disesuaikan dengan ketersediaan air tanah diatas water table, jumlah air hujan, distribusi dan jumlah
evapotranspirasi (Lucas,1982).
3.
Penggenangan
Untuk meminimalkan terjadinya subsidence, langkah
yang bisa dilakukan adalah tetap mempertahankan kondisi tergenang tersebut dengan mengadopsi tanaman-tanaman sejenis
hidrofilik atau tanaman toleran air yang memberikan nilai ekonomi seperti
halnya Eleocharis tuberosa, bayam cina (Amaranthus hybridus), kangkung
(Ipomoea aquatica) dan seledri air. Di Florida ketika tanaman
tertentu tidak bisa dibudidayakan karena perubahan musim, penggenangan
dilakukan dan digunakan untuk budidaya tanaman air tersebut (Ambak dan Melling,
2000).
II.
Pengolahan
Tanah
1.
Pembakaran
Pembakaran merupakan cara tradisional yang sering
dilakukan petani untuk menurunkan tingkat kemasaman tanah gambut. Terjadinya pembakaran bahan organik menjadi
abu berakibat penghancuran tanah serta menurunkan permukaan tanah. Pembakaran berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tanaman pada tahun pertama dan meningkatkan serapan P tanaman,
namun akan menurunkan serapan Ca dan Mg (Mawardi et al, 2001).
2.
Bahan
Pembenah tanah
Pemberian pupuk dan amandemen dalam komposisi dan
takaran yang tepat dapat mengatasi masalah keharaan dan kemasaman tanah gambut. Unsur hara yang umumnya perlu
ditambahkan dalam bentuk pupuk adalah N, P, K, Ca, Mg serta sejumlah unsur hara
mikro terutama Cu, Zn dan Mo. Pemberian Cu diduga lebih efektif melalui daun (foliar
spray) karena sifat sematannya yang sangat kuat pada gambut, kurang mobil
dalam tanaman dan kelarutan yang menurun ketika terjadi peningkatan pH akibat
penggenangan. Sebagai amandemen, abu hasil pembakaran gambut itu sendiri akan
berpengaruh menurunkan kemasaman tanah, memasok unsur hara dan mempercepat
pembentukan lapis olah yang lebih baik sifat fisikanya (Radjagukguk, 1990).
Pupuk
kandang khususnya kotoran ayam dibandingkan dengan kotoran ternak yang lainnya
mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro tertentu dalam jumlah yang
banyak. Kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar kation rendah. Kotoran
ayam, dalam melepaskan haranya berlangsung secara bertahap dan lama. Tampaknya,
pemberian kotoran ayam memungkinkan untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia
tanah gambut.
III.
Pengolahan
Tanaman (Pemilihan Jenis Tanaman)
1.
Padi Sawah
Budidaya padi sawah di lahan gambut dihadapkan pada berbagai masalah
terutama menyangkut kendala-kendala fisika, kesuburan serta pengelolaan tanah dan air. Khususnya gambut
tebal (>1 m ) belum berhasil dimanfaatkan untuk
budidaya padi sawah, karena mengandung sejumlah kendala yang belum dapat
diatasi. Kunci keberhasilan budidaya padi sawah pada lahan gambut
terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan dan pengendalian air, penanganan
sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor pembatas, penanganan substansi
toksik dan pemupukan unsur makro dan mikro (Radjagukguk, 1990).
Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah
gambut dengan (20-50 cm gambut) dan gambut dangkal (0,5-1 m). Padi kurang sesuai pada
gambut sedang (1-2 m) dan tidak sesuai pada gambut tebal (2-3 m) dan sangat
tebal (lebih dari 3 m). Pada gambut tebal dan sangat tebal, tanaman padi tidak
dapat membentuk gabah karena kahat unsur hara mikro Subagyo et al, 1996).
Pada tanah sawah dengan kandungan bahan organik
tinggi, asam-asam organik menghambat pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan
rendahnya produktivitas bahkan kegagalan panen. Leiwakabessy dan Wahjudin
(1979) dalam Radjagukguk (1990) menunjukkan hubungan erat antara ketebalan
gambut dan produksi gabah padi sawah. Pada percobaan pot dengan tanah yang diambil dari lapis 0-20 cm, diperoleh hasil gabah
padi (ditanam secara sawah) yang sangat rendah apabila tebal gambut > 80 cm, dan yang paling tinggi apabila ketebalan
gambut 50 cm. Ditunjukkan pula bahwa ada kesamaan antara pola perubahan
kejenuhan Ca, kejenuhan Mg, pH dan kandungan abu bersama ketebalan gambut dengan perubahan tingkat hasil
gabah. Sehingga kemungkinan tingkat kemasaman dan suplai Ca yang rendah serta
kandungan abu yang rendah merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan padi
sawah pada gambut tebal.
Tidak terbentuknya gabah menurut Andriesse (1988) dan Driessen (1978)
berkaitan dengan defisiensi Cu yang akan menyebabkan meningkatnya
aktivitas racun fenolik dan menyebabkan male sterility pada tanaman padi.
2.
Tanaman
Perkebunan dan Industri
Budidaya tanaman-tanaman perkebunan berskala besar
kebanyakan dikembangkan di propinsi Riau dengan memanfaatkan gambut tebal. Sebelum penanaman, dilakukan pemadatan tanah dengan menggunakan alat-alat berat. Sistem
drainase yang tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman perkebunan
di lahan tersebut. Pengelolaan kesuburan tanah yang utama adalah pemberian pupuk makro dan mikro (Radjagukguk, 1990).
Tanaman perkebunan sesuai ditanam pada ketebalan gambut 1-2 m dan sangat tebal
(2-3 m) (Subagyo et al, 1996)
Di Malaysia, diantara tanaman perkebunan yang lain
seperti kelapa sawit, sagu, karet, kopi dan kelapa, nanas (Ananas cumosus)
merupakan tanaman yang menunjukkan adaptasi yang tinggi pada gambut
berdrainase. Nanas bisa beradaptasi dengan baik pada keadaan kemasaman yang tinggi dan tingkat kesuburan yang rendah.
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman tahunan yang cukup sesuai pada lahan
gambut dengan ketebalan sedang hingga tipis dengan hasil sekitar 13 ton/ha pada tahun ketiga penanaman (Ambak dan Melling,
2000).
Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh PT. RSUP di
Indragiri Hilir, menunjukkan bahwa tanaman nenas tumbuh dengan baik dan mulai berbuah 14 bulan setelah tanam. Dari
hasil sementara menunjukkan bahwa, penanaman nanas dengan kerapatan 20.000 pohon/ha yang ditanam diantara
jalur kelapa, tumpangsari kelapa nenas memberikan prospek yang sangat cerah (Sudradjat
dan Qusairi, 1992).
Sagu bisa beradaptasi dengan baik dan memberikan hasil bagus tanpa pemberian
input pupuk (Ahmad dan Sim, 1976) pada gambut dengan minimum drainase, walaupun umur tanaman sampai
menghasilkan buah sangat lama (15-20 tahun).
Untuk jenis-jenis pohon buah banyak ditemukan di
Sumatra dan Kalimantan seperti jambu air (Eugenia) Mangga (Mangosteen),
rambutan (Ambak dan Melling, 2000) sedangkan di daerah pantai Ivory dengan gambut termasuk oligotropik, pisang
dapat tumbuh dengan drainase 80 - 100 cm dan menghasilkan 25 - 40 ton/ha walaupun
dengan pengelolaan yang agak sulit
(Andriesse, 1988).
Komoditas lain yang berpotensi ekonomi untuk
dikembangkan guna memenuhi kebutuhan domestik adalah tanaman industri/keras
seperti kelapa, kopi, lada dan tanaman obat (Abdurachman dan Suriadikarta,
2000). Tanaman rami dan
obat-obatan tumbuh dan berproduksi baik pada gambut sedang dan kurang baik pada
gambut sangat dalam (3-5 m) (Subagyo et al, 1996).
3.
Tanaman pangan (Palawija) dan Tanaman
Semusim Lainnya.
Tanah gambut
yang sesuai untuk tanaman semusim adalah gambut dangkal dan gambut sedang.
Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun terlalu dalam atau drastis untuk mencegah
terjadinya gejala kering tidak balik (Subagyo et al, 1996).
Tanaman pangan memerlukan kondisi drainase yang
baik untuk mencegah penyakit busuk pada bagian bawah tanaman dan meminimalkan
pemakaian pupuk. Cassava (Manihot esculenta) atau tapioka menghasilkan
lebih dari 50 ton/ha dengan pengelolaan yang baik dan merupakan tanaman pangan yang penting pada gambut oligotropik tropis dengan drainase yang baik (Andriesse, 1988).
Untuk tanaman sayuran,
Satsiyati (1992) dalam Abdurachman dan Suriadikarta (2000)
menyebutkan beberapa tanaman hortikultura yang berpotensi ekonomi untuk
dikembangkan di lahan gambut eks PLG yaitu cabai, semangka dan nenas.Beberapa lahan gambut yang termasuk
lahan bongkor bisa diusahakan untuk berbagai tanaman seperti cabai
besar/keriting/kecil, terong, tomat, sawi, seledri, bawang daun, kacang
panjang, paria, mentimun, jagung sayur, jagung manis, dan
buah-buahan (mangga, rambutan, melinjo,
sukun, nangka, pepaya, nanas dan pisang) karena lahan gambut tersebut termasuk
tipe luapan C/D (tidak dipengaruhi air pasang surut, hanya melalui rembesan
air tanah>50 cm di bawah permukaan tanah pada musim kemarau dan <50 cm pada musim hujan) (Ardjakusumaet al, 2001)
Sumber :
·
Notohadiprawiro,
T., 2006. Etika Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan. Lokakarya
Pengelolaan Lingkungan dalam Pengembangan Lahan Gambut. Palangkaraya: Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL).
·
Mosher,
AT. 1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasaguna. Jakarta.
·
Ratmini,
Sri. 2012. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian.
Umatera Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
·
Mawardi,
E., Azwar dan Tambidjo, A., 2001. Potensi dan Peluang Pemanfaatan Harzeburgite
sebagai Amelioran Lahan Gambut.