..

Jumat, 17 Juli 2015

Teknologi Pengolahan Pertanian Lahan Gambut

Lahan Gambut

Dari total lahan basah di Indonesia sekitar 21 juta ha berupa lahan gambut yang tersebar di tiga pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Wahyunto et al., 2005; 2006). Lokasi tanah gambut tersebar luas terutama di pulau Sumatera 6,8 juta ha, dan sebagian besar diantaranya berada di Kepulauan Riau (4 juta ha). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa di Kepulauan Riau sebanyak 200.000 ha lahan gambut sudah diusahakan untuk penanaman kelapa sawit Lim (2007).
Lahan gambut merupakan lahan marginal untuk pertanian karena kesuburannya yang rendah, pH sangat masam, dan keadaan drainasenya yang jelek. Ciri utama dari lahan gambut adalah kandungan karbonnya sangat tinggi. Lahan gambut mempunyai kandungan karbon minimal 18% (berdasarkan berat kering) dan ketebalan minimal 50 cm. Timbunan karbon yang tinggi tersebut terbentuk karena keadaan jenuh air (drainase jelek) pada lahan yang awalnya timbunan berupa danau dangkal. Karbon yang tersimpan di dalam tanah gambut bersifat tidak stabil. Apabila lahan gambut didrainase, maka bahan organik (yang menyimpan karbon) akan mudah terdekomposisi membentuk CO2, yaitu gas rumah kaca terpenting yang menyumbang pada pemanasan global.
Emisi CO2 terjadi secara bersamaan dengan pemadatan (konsolidasi) dan kedua proses tersebut menyebabkan penurunan permukaan tanahgambut (subsiden). Subsiden yang terjadi secara cepat akan menyebabkan terbentuknya cekungan, sehingga lahan akan mudah mengalami kebanjiran. Selain itu subsiden akan menyebabkan lahan gambut kehilangan kemampuan menyangga kualitas lingkungan. Lahan gambut mempunyai daya simpan air sangat tinggi, dan sifat tersebut akan hilang apabila lahan gambut sudah mengalami subsiden.

Potensi Terhadap Pertanian
Sebagian besar lahan gambut mempunyai tutupan lahan berupa hutan, belukar, dan sebagian dibuka untuk pengembangan pertanian dan perkebunan. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan berkembang pesat sejak tahun 1970an, seiring dengan perencanaan pemerintah membuka lahan rawa pasang surut seluas 5,25 juta ha untuk mendukung program transmigrasi dan peningkatan produksi padi nasional. Namun tidak semua lahan gambut yang dibuka dan ditempati transmigrasi berhasil dengan baik bahkan beberapa lokasi ditinggalkan dan para transmigran dipindahkan (relokasi) karena dinyatakan tidak sesuai untuk pertanian (Noor, 2001).
Sebagian lahan gambut tergolong sesuai untuk berbagai komoditas pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, maupun perkebunan. Sebagian lainnya tergolong tidak sesuai, dengan faktor pembatas utama kematangan gambut yang masih mentah (fibrik), drainase sangat terhambat, bahaya banjir (tergenang), asam organik, kadar hara, dan lingkungan perakaran. Dari segi biofisik dan kimia lahan gambut dengan kematangan saprik dan hemikt cukup sesuai untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian, baik untuk tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah), maupun tanaman tahunan.
Untuk komoditas pertanian tanaman pangan seperti palawija, sayuran, dan buah-buahan semusim, serta tanaman tahunan/perkebunan/hortikultura, gambut yang paling cocok adalah gambut dangkal dengan ketebalan < 60 cm dan kematangan gambut saprik atau kedalaman <140 cm jika ada sisipan/pengkayaan bahan mineral. Tanaman yang umum diusahakan dan kesesuaian lahannya cocok dikembangkan adalah padi sawah, padi gogo,jagung, ubikayu, ubi jalar, sayuran (kangkung, bayam, kemangi, pakcoy, caisin, terung, cabai merah, kacang panjang, dan lainnya), buah-buahan seperti lidah buaya, pepaya, semangka, melon, dan nanas. Sedangkan tanaman tahunan/perkebunan yang sesuai di lahan gambut adalah kelapa sawit dan karet.

Pertanian Berkelanjutan di Lahan Gambut
Untuk mengurangi penyusutan dan subsidence dalam penggunaan lahan gambut sebagai lahan pertanian dan menjaga keberlanjutannya, ada beberapa hal strategi pengolahan yang benar dilakukan baik untuk pengolahan air, pengolahan tanah, dan pengolahan tanaman.

I.                   Pengolahan air
1.      Drainase
Drainase merupakan prasyarat untuk usaha pertanian, walaupun hal tersebut bukanlah suatu yang mudah untuk dilakukan mengingat sifat dari gambut yang bisa mengalami penyusutan dan kering tidak balik akibat drainase, sehingga sebelum mereklamasi lahan gambut perlu diketahui sifat spesifik gambut, peranan dan fungsinya bagi lingkungan. Drainase yang baik untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap mempertahankan batas air kritis gambut akan tetapi tetap tidak mengakibatkan kerugian pada tanaman yang akan berakibat pada hasil. Intensitas drainase bervariasi tergantung kondisi alami tanah dan curah hujan. Curah hujan yang tinggi  (4000-5000 mm per tahun)(Ambak dan Melling, 2000) membutuhkan sistem drainase untuk meminimalkan pengaruh banjir. Bagi tanaman perkebunan, usaha perbaikan drainase dilakukan dengan pembuatan kanal primer, kanal sekunder dan kanal tersier.

2.      Irigasi
Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah diatas water table, jumlah air hujan, distribusi dan jumlah evapotranspirasi (Lucas,1982).

3.      Penggenangan
Untuk meminimalkan terjadinya subsidence, langkah yang bisa dilakukan adalah tetap mempertahankan kondisi tergenang tersebut dengan mengadopsi tanaman-tanaman sejenis hidrofilik atau tanaman toleran air yang memberikan nilai ekonomi seperti halnya Eleocharis tuberosa, bayam cina (Amaranthus hybridus), kangkung (Ipomoea aquatica) dan seledri air. Di Florida ketika  tanaman tertentu tidak bisa dibudidayakan karena perubahan  musim, penggenangan dilakukan dan digunakan untuk budidaya tanaman air tersebut (Ambak dan Melling, 2000).

II.                Pengolahan Tanah
1.      Pembakaran
Pembakaran merupakan cara tradisional yang sering dilakukan petani untuk menurunkan tingkat kemasaman tanah gambut. Terjadinya pembakaran bahan organik menjadi abu berakibat penghancuran tanah serta menurunkan permukaan tanah. Pembakaran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman pada tahun pertama dan meningkatkan serapan P tanaman, namun akan menurunkan serapan Ca dan Mg (Mawardi et al, 2001).

2.      Bahan Pembenah tanah
Pemberian pupuk dan amandemen dalam komposisi dan takaran yang tepat dapat mengatasi masalah keharaan dan kemasaman tanah gambut. Unsur hara yang umumnya perlu ditambahkan dalam bentuk pupuk adalah N, P, K, Ca, Mg serta sejumlah unsur hara mikro terutama Cu, Zn dan Mo. Pemberian Cu diduga lebih efektif melalui daun (foliar spray) karena sifat sematannya yang sangat kuat pada gambut, kurang mobil dalam tanaman dan kelarutan yang menurun ketika terjadi peningkatan pH akibat penggenangan. Sebagai amandemen, abu hasil pembakaran gambut itu sendiri akan berpengaruh menurunkan kemasaman tanah, memasok unsur hara dan mempercepat pembentukan lapis olah yang lebih baik sifat fisikanya (Radjagukguk, 1990).
Pupuk kandang khususnya kotoran ayam dibandingkan dengan kotoran ternak yang lainnya mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro tertentu dalam jumlah yang banyak. Kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar kation rendah. Kotoran ayam, dalam melepaskan haranya berlangsung secara bertahap dan lama. Tampaknya, pemberian kotoran ayam memungkinkan untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah gambut.

III.             Pengolahan Tanaman (Pemilihan Jenis Tanaman)
1.      Padi Sawah
Budidaya padi sawah di lahan gambut dihadapkan pada berbagai masalah terutama menyangkut kendala-kendala fisika, kesuburan serta pengelolaan tanah dan air. Khususnya gambut tebal (>1 m ) belum berhasil dimanfaatkan untuk budidaya padi sawah, karena mengandung sejumlah kendala yang belum dapat diatasi. Kunci keberhasilan budidaya padi sawah pada lahan gambut  terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor pembatas, penanganan substansi toksik dan pemupukan unsur makro dan mikro (Radjagukguk, 1990).
Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut dengan (20-50 cm gambut) dan gambut dangkal (0,5-1 m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m) dan tidak sesuai pada gambut tebal (2-3 m) dan sangat tebal (lebih dari 3 m). Pada gambut tebal dan sangat tebal, tanaman padi tidak dapat membentuk gabah karena kahat unsur hara mikro Subagyo et al, 1996).
Pada tanah sawah dengan kandungan bahan organik tinggi, asam-asam organik menghambat pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan rendahnya produktivitas bahkan kegagalan panen. Leiwakabessy dan Wahjudin  (1979) dalam Radjagukguk (1990) menunjukkan hubungan erat antara ketebalan gambut dan produksi gabah padi sawah. Pada percobaan pot dengan tanah yang diambil dari lapis 0-20 cm, diperoleh hasil gabah padi (ditanam secara sawah) yang sangat rendah apabila tebal gambut > 80 cm, dan yang paling tinggi apabila ketebalan gambut 50 cm. Ditunjukkan pula bahwa ada kesamaan antara pola perubahan kejenuhan Ca, kejenuhan Mg, pH dan kandungan abu bersama ketebalan gambut dengan perubahan tingkat hasil gabah. Sehingga kemungkinan tingkat kemasaman dan suplai Ca yang rendah serta kandungan abu yang rendah merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan padi sawah pada gambut tebal.
Tidak terbentuknya gabah menurut Andriesse (1988) dan Driessen (1978) berkaitan dengan defisiensi Cu yang akan menyebabkan meningkatnya aktivitas racun fenolik dan  menyebabkan male sterility pada tanaman padi.

2.      Tanaman Perkebunan dan Industri
Budidaya tanaman-tanaman perkebunan berskala besar kebanyakan dikembangkan di propinsi Riau dengan memanfaatkan gambut tebal. Sebelum penanaman, dilakukan pemadatan tanah dengan menggunakan alat-alat berat. Sistem drainase yang tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman perkebunan di lahan tersebut. Pengelolaan kesuburan tanah yang utama adalah pemberian pupuk makro dan mikro (Radjagukguk, 1990). Tanaman perkebunan sesuai ditanam pada ketebalan gambut 1-2 m dan sangat tebal (2-3 m) (Subagyo et al, 1996)
Di Malaysia, diantara tanaman perkebunan yang lain seperti kelapa sawit, sagu, karet, kopi dan kelapa, nanas (Ananas cumosus) merupakan tanaman yang menunjukkan adaptasi yang tinggi pada gambut berdrainase. Nanas bisa beradaptasi dengan baik pada keadaan kemasaman yang tinggi dan tingkat kesuburan yang rendah. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman tahunan yang cukup sesuai pada lahan gambut dengan ketebalan sedang hingga tipis dengan hasil sekitar 13 ton/ha pada tahun ketiga penanaman (Ambak dan Melling, 2000).
Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh PT. RSUP di Indragiri Hilir, menunjukkan bahwa tanaman nenas tumbuh dengan baik dan mulai berbuah 14 bulan setelah tanam. Dari hasil sementara menunjukkan bahwa, penanaman nanas dengan kerapatan 20.000 pohon/ha yang ditanam diantara jalur kelapa, tumpangsari kelapa nenas memberikan prospek yang sangat cerah (Sudradjat dan Qusairi, 1992).
Sagu bisa beradaptasi dengan baik dan memberikan hasil bagus tanpa pemberian input pupuk (Ahmad dan Sim, 1976) pada gambut dengan minimum drainase, walaupun umur tanaman sampai menghasilkan buah sangat lama (15-20 tahun).
Untuk jenis-jenis pohon buah banyak ditemukan di Sumatra dan Kalimantan seperti jambu air (Eugenia) Mangga (Mangosteen), rambutan (Ambak dan Melling, 2000) sedangkan di daerah pantai Ivory  dengan gambut termasuk oligotropik, pisang dapat tumbuh dengan drainase 80 - 100 cm dan menghasilkan 25 - 40 ton/ha walaupun dengan pengelolaan yang agak sulit (Andriesse, 1988).
Komoditas lain yang berpotensi ekonomi untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan domestik adalah tanaman industri/keras seperti kelapa, kopi, lada dan tanaman obat (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000). Tanaman rami dan obat-obatan tumbuh dan berproduksi baik pada gambut sedang dan kurang baik pada gambut sangat dalam (3-5 m) (Subagyo et al, 1996).

3.      Tanaman pangan (Palawija) dan Tanaman Semusim Lainnya.
Tanah gambut yang sesuai untuk tanaman semusim adalah gambut dangkal dan gambut sedang. Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun terlalu dalam atau drastis untuk mencegah terjadinya gejala kering tidak balik (Subagyo et al, 1996).
Tanaman pangan memerlukan kondisi drainase yang baik untuk mencegah penyakit busuk pada bagian bawah tanaman dan meminimalkan pemakaian pupuk. Cassava (Manihot esculenta) atau tapioka menghasilkan lebih dari 50 ton/ha dengan pengelolaan yang baik dan merupakan tanaman pangan yang penting pada gambut oligotropik tropis dengan drainase yang baik (Andriesse, 1988).
Untuk tanaman sayuran, Satsiyati (1992) dalam Abdurachman dan Suriadikarta (2000) menyebutkan beberapa tanaman hortikultura yang berpotensi ekonomi untuk dikembangkan di lahan gambut eks PLG  yaitu cabai, semangka dan nenas.Beberapa lahan gambut yang termasuk lahan bongkor bisa diusahakan untuk berbagai tanaman seperti cabai besar/keriting/kecil, terong, tomat, sawi, seledri, bawang daun, kacang panjang, paria, mentimun, jagung sayur, jagung manis, dan buah-buahan       (mangga, rambutan, melinjo, sukun, nangka, pepaya, nanas dan pisang) karena lahan gambut tersebut termasuk tipe luapan C/D (tidak dipengaruhi air pasang surut, hanya melalui rembesan air tanah>50 cm di bawah permukaan tanah pada musim kemarau dan <50 cm pada musim hujan) (Ardjakusumaet al, 2001)

Sumber :
·         Notohadiprawiro, T., 2006. Etika Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan. Lokakarya Pengelolaan Lingkungan dalam Pengembangan Lahan Gambut. Palangkaraya: Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL).
·         Mosher, AT. 1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasaguna. Jakarta.
·         Ratmini, Sri. 2012. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian. Umatera Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
·         Mawardi, E., Azwar dan Tambidjo, A., 2001. Potensi dan Peluang Pemanfaatan Harzeburgite sebagai Amelioran Lahan Gambut.