..

Sabtu, 26 Maret 2011

SISTEM PEMASARAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman kentang merupakan komoditas sayuran yang mendapat prioritas utama dalam pengembangannya, karena dapat mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi yang membudidayakannya. Prospek ke arah agribisnis kentang di Indonesia makin cerah, karena Indonesia memiliki potensi yang baik untuk mengembangkan usaha budidaya kentang. Sistem pemasaran yang efisien merupakan salah satu faktor yang menentukan keiginan petani untuk meningkatkan produktifitas komoditi yang ditanamnya. Sehingga dari penelitian ini akan diketahui fungsi-fungsi pemasaran apa saja yang dilakukan oleh lembaga pemasaran dan juga tingkat efisiensi dari setiap saluran pemasaran.
    Penelitian ini dilakukan pada beberapa petani kentang di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Metode yang digunakan adalah random sampling, dengan 30 responden. Sedangkan pengambilan contoh untuk lembaga pemasaran dilakukan dengan metode snowball sampling.
    Setiap lembaga pemasaran kentang melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang berbeda-beda. Marjin pemasaran kentang pada saluran pemasaran 1,2,3, dan 4 berturut-turut adalah Rp. 1650/kg, Rp. 1900/kg, Rp. 1200/kg, dan Rp. 1100/kg. Sedangkan untuk nilai efisiensi pemasaran kentang pada saluran pemasaran 1,2,3, dan 4 berturut-turut adalah 2,99; 4,56; 5,05; dan 3,11. Hal ini menunjukkan bahwa semua saluran pemasaran kentang yang ada sudah efisien.






BAB II
PEMBAHASAN

Pola pemasaran kentang cenderung bersifat musiman. Panen raya kentang terjadi pada bulan April, Juli-Agustus, dan November. Pada musim-musim raya tersebut volume perdagangan dapat mencapai 2 ton/hari, sedang pada bulan-bulan biasa hanya mencapai 500 kg/hari. Biasanya pada musim kemarau petani mengurangi jumlah tanaman pada lahan yang sama, untuk mengurangi resiko kegagalan panen yang disebabkan oleh musim. Di tingkat pembelian dari petani, kentang belum diklasifikasikan menurut mutu/besar kecilnya kentang.
            Pada umumnya para pedagang/agen kentang membeli kentang dari petani di kebun, dengan harga sama untuk semua mutu secara campuran. Posisi petani dalam menentukan harga sangat rendah. Pada waktu panen langsung dipotong dengan jumlah pinjaman, dan petani sama
sekali tidak mengetahui berapa harga kentang di pasar. Petani hanya dapat menerima harga yang ditetapkan pedagang. Seorang petani mengatakan bahwa dia sangat sungkan untuk menanyakan harga kentang kepada agen langganannya.
            Kemudian kentang tersebut langsung dijual kepada para toke (eksportir). Di tingkat toke inilah kentang baru disortir oleh “Aron” berdasarkan besar kecilnya kentang, yaitu kelas super/jumbo, A,B, dan C dengan upah Rp 8.000/hari. Diperkirakan kelas super dapat mencapai harga Rp 3000,-/kg, kelas A seharga Rp 2400,-/kg, kelas B Rp 2000/kg. Di tingkat petani harga jual per bulan relatif stabil, yaitu sekitar Rp 1500,-/kg. Dengan demikian marjin yang diterima toke dari grading cukup besar, karena 60 persen dari kentang yang dibeli dari petani terdiri dari kelas super.
            Bagi para “agen” pada umumnya sudah mempunyai pemasok kentang, yaitu petani, dan begitu pula sudah mempunyai langganan “Toke”. Seorang pedagang kecil mengaku mempunyai pelanggan petani pemasok kentang sebanyak 10 petani, dan pelangan toke sebanyak 2 toke di Brastagi. Kepada petani pemasok kentang diberikan pinjaman kurang lebih sebanyak Rp 500.000,- sampai Rp 2.000.000,-, yang dipotong pada saat panen kentang.
            Petani yang menjadi pelanggan, pada umumnya mengusahakan kentang seluas 1 hektar atau lebih. Dengan mempunyai pelanggan toke, para agen kentang/pedagang pengumpul merasa
tidak mendapat kesulitan untuk menjual/memasarkan kentang-kentang yang dikumpulkan dari
petani. Selain sebagai pedagang/agen kentang, juga sebagai pedagang bibit kentang untuk dijual ke luar propinsi, yaitu ke Kerinci, Sumatera Barat, dan Liwa, Kabupaten Lampung. Bibit kentang dibeli dari petani seharga Rp 800,-/kg, dan selanjutnya diproses selama empat bulan di gudang dengan di beri obat-obatan supaya tidak busuk. Setelah siap jadi bibit ada pedagang tersendiri yang mengambil di gudang, selanjutnya dijual ke daerah pemasaran. Dari hasil penjualan kentang para agen mengaku mendapat keuntungan bersih sebesar Rp 50,-/kg.
            Selanjut-nya para toke-lah yang mengekspor/menjual ke pasar bebas. Terdapat tiga kategori “agen” kentang yaitu kecil, menengah dan besar. Para agen besar pada umumnya mempunyai gudang penyimpanan/pegudang. Di dalam satu desa dapat ditemui 10 pegudang. Para pegudang mempunyai pola perdagangan yang jauh berbeda dengan para agen/pedagang pengumpul kecil. Di dalam satu desa dapat beroperasi sebanyak 6 pegudang. Untuk menjadi pegudang diperlukan modal yang cukup banyak, yaitu sebesar Rp 300.000.000/ tahun. Bagi petani yang tidak dapat bermitra dengan pedagang/agen/pegudang, ternyata tidak mengalami kesulitan dalam hal pemasaran. Hal ini disebabkan meskipun lokasi penanaman kentang relatif jauh dengan pasar, namun fasilitas transportasi baik yang berupa jalan maupun sarana angkutan
cukup bagus. Dengan demikian hampir setiap hari para pedagang bebas, mendatangi lokasi
petani untuk membeli kentang maupun sayuran yang lain.
            Sebagian besar kentang dijual petani ke pedagang desa dan kecamatan, baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Volume penjualan ke pedagang kecamatan rata-rata 10 - 11 ton per petani/musim, lebih besar dibanding volume penjualan ke pedagang desa yang hanya mencapai 5 - 6 ton per petani per musim. Sebagian besar kentang dijual dengan cara ditimbang, dan belum dilakukan grading. Selain itu terdapat pula kentang yang dijual dengan cara tebasan, namun kasusnya relatif sedikit. Cara pembayaran kentang lebih banyak yang dilakukan dengan cara panjar, terutama pada petani yang tidak melakukan kemitraan.Sedang pada petani yang bermitra, kasus pembayaran dilakukan baik dengan cara tunai, panjar, maupun konsinyasi. Bagi mitra yang relatif kuat permodalan-nya, cenderung membayar secara tunai, namun bagi mitra yang dalam level sedang cenderung melakukan secara konsinyasi. Cara pembayaran dengan sistem panjar, umumnya dilakukan mitra untuk memperoleh pasokan yang kontinyu.
Terdapat seorang eksportir yang menguasai agribisnis kentang mulai dari produsen
sampai ke pengguna dengan volume ekspor 40 ton per bulan. Bahkan pada tahun 1990 - 1996
dapat mencapai 6000 ton per bulan.
Pola kemitraan yang terdapat pada komoditi kentang sebagian besar adalah kemitraan antara petani dengan pedagang kentang, yang sudah berjalan selama 5 tahun (Tabel 2). Sedang kemitraan antara petani dengan pedagang saprodi relatif sangat sedikit, terutama terjadi pada musim kemarau dan baru berjalan selama 3 tahun. Para petani yang dapat menjalin kemitraan pada umumnya petani yang memiliki atau menguasai lahan yang relatif luas (lebih dari 1 ha). Hal ini merupakan salah satu syarat yang tidak tertulis dan ditentukan mitra, untuk menjamin kelangsungan pasokan mitra (agen) kepada para toke (eksportir).
Tabel 2
Level Pedagang
Volume Usaha
(kg)
Jumlah Modal & pinjaman (Rp.000)
Tipe Kemitraan
Jumlah Mitra
(petani)
Jangkauan
Mitra
Lokasi Pemasaran
Kecil (agen)
500-2000
10.000-15.000
A (Petani – Agen - Toke)
10-20 dengan lahan 1 ha
Antardesa
Brastagi
Kabanjahe
Besar   
(pedagang)
2000-6000
300.000
A (Petani – Pegudang -Toke)
20-40 dengan lahan >2 ha
Antardesa
Brastagi
Medan
Toke
(pengekspor)
>10000
1.000.000
A (Pegudang/Agen-Toke Pengimpor)
20-40 pegudang/agen
Kecamatan / Kabupaten
Singapore
Malaysia

Fluktuasi harga yang relatif tinggi pada komoditas sayuran, misalnya pada tanaman kentang, pada dasarnya terjadi akibat kegagalan petani dan pedagang sayuran dalam mengatur volume pasokannya sesuai dengan kebutuhan konsumen. Kondisi demikian dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
1. Pertama, produksi sayuran cenderung terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu saja. Struktur produksi yang tidak kondusif bagi stabilitas harga karena jika terjadi anomali produksi (misalnya gagal panen akibat hama atau lonjakan produksi akibat pengaruh iklim) di salah satu daerah sentra produksi maka akan berpengaruh besar terhadap keseimbangan pasar secara keseluruhan.
2. Kedua, struktur produksi yang terkonsentrasi secara regional diperparah pula oleh pola produksi yang tidak sinkron antar daerah produsen. Setiap daerah produsen sayuran umumnya memiliki pola produksi bulanan yang relatif sama sehingga total produksi sayuran cenderung terkonsentrasi pada bulan-bulan tertentu. Konsentrasi produksi secara temporer tersebut misalnya dapat disimak pada pola produksi kentang dan kubis di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menyumbang sekitar 90 persen dan 78 persen produksi nasional. Di keempat provinsi tersebut sekitar 60-65 persen produksi kentang dan kubis hanya dihasilkan pada bulan Januari hingga Mei sehingga pada bulan-bulan tersebut harga kedua komoditas tersebut cenderung mengalami penurunan tajam.
3. Ketiga, permintaan komoditas sayuran umumnya sangat sensitif terhadap perubahan kesegaran produk. Sementara itu komoditas sayuran umumnya relatif cepat busuk sehingga petani dan pedagang tidak mampu menahan penjualannya terlalu lama dalam rangka mengatur volume pasokan yang sesuai dengan kebutuhan pasar, karena hal itu dapat berdampak pada penurunan harga jual yang disebabkan oleh penurunan kesegaran produk. Konsekuensinya adalah pengaturan volume pasokan yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen tidak mudah dilakukan karena setelah dipanen petani cenderung segera menjual hasil panennya agar sayuran yang dipasarkan masih dalam keadaan segar.
4. Keempat, untuk dapat mengatur volume pasokan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen maka dibutuhkan sarana penyimpanan yang mampu mempertahankan kesegaran produk secara efisien. Namun ketersediaan sarana penyimpanan tersebut umumnya relatif terbatas akibat kebutuhan investasi yang cukup besar sedangkan teknologi penyimpanan sederhana yang dapat
diterapkan oleh petani sangat terbatas.

Biaya pemasaran komoditas pertanian pada umumnya meliputi lima komponen yaitu : biaya pengangkutan, biaya penyimpanan, biaya sortasi dan grading, biaya risiko usaha dan keuntungan pedagang. Di antara kelima komponen biaya tersebut biaya pengangkutan biasanya paling besar karena produk pertanian umumnya bersifat kamba (voluminous). Biaya pengangkutan tersebut
dapat bervariasi menurut jenis komoditas dan tergantung pada sifat kamba komoditas yang dipasarkan dan jarak pengangkutan dari daerah produsen ke daerah konsumen. Variasi jarak pengangkutan biasanya tidak hanya berpengaruh terhadap besarnya biaya sewa alat pengangkutan saja tetapi juga memiliki pengaruh terhadap komponen biaya pengangkutan lainnya seperti biaya
pengepakan, retribusi pengangkutan, risiko kerusakan dan penyusutan volume selama proses pengangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar