PENDAHULUAN
Pancasila
dan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat merupakan landasan dari UUPA.
Pasal 1
ayat 3 UUPA berbunyi hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air
serta ruang angkasa termasuk dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan
yang bersifat abadi. Hubungan yang bersifat abadi pengertiannya
hubungan bangsa Indonesia bukan hanya dalam generasi sekarang saja
tetapi generasi seterusnya untuk anak cucu kita. Oleh karena itu sumber
daya alam harus dijaga jangan sampai dirusak atau diterlantarkan. UUPA
No.5 tahun 1960 hak atas tanah terhapus dengan sendirinya apabila
tanahnya diterlantarkan.
Dalam
kehidupan masyarakat tanah memegang peran yang sangat penting, untuk itu
memerlukan penanganan yang serius dan professional. Dengan
meningkatnya pembangunan disegala bidang baik pertanian, pemukiman, dan
perindustrian maka kebutuhan akan tanah semakin meningkat pula. Dengan
meningkatnya kebutuhan akan tanah semakin meningkat pulalah
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh tanah yang harus ditangani dengan
segera.
Salah satu
masalah yang perlu ditangani dengan segera adalah masalah tanah
terlantar, karena masalah ini sangat rumit sekali jika melihat adanya
estalasi dari harga-harga tanah memuat masalah untuk dinyatakan tanah
menjadi terlantar. Terlantar dalam arti tanah tersebut tidak
dimanfaatkan secara optimal oleh pemegang hak. Tanah terlantar ini
seharusnya dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk kepentingan pribadi
maupun kepentingan umum.
Penelantaran
tanah merupakan tindakan yang tidak berkeadilan, yang dapat
menyebabkan hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi
tanah. Selain itu, penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya
pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan
pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi
masyarakat khususnya petani, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni
sosial. Penelantaran tanah merupakan pelanggaran terhadap kewajiban
yang harus dijalankan para pemegang hak atau pihak yang telah
memperoleh dasar penguasaan tanah. Negara memberikan hak atas tanah
atau hak pengelolaan kepada pemegang hak untuk diusahakan,
dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik selain
untuk kesejahteraan bagi pemegang haknya juga harus ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.
Untuk itu,
lahirlah PP no. 11 tahun 2010 mengenai penertiban dan pendayagunaan
tanah terlantar sebagai pelaksanaan amanat UUPA tahun 1960, untuk
menyelesaikan persoalan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahtaraan
rakyat serta penurunan kualitas lingkungan. PP ini juga lahir sebagai
pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang dipandang tidak dapat lagi
dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah
terlantar. Aturan pelaksanaan untuk penertiban tanah terlantar juga
sudah dikeluarkan melalui Peraturan Kepala BPN no. 4 tahun 2010 mengenai
tatacara penertiban tanah terlantar.
PEMBAHASAN
Tanah terlantar
Ironi,
itu lah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi dari realita
banyaknya tanah terlantar sekarang. Padahal jika kita lihat kondisi
sekarang ini karena sempitnya lahan garapan yang menyebabkan kemiskinan
petani Indonesia. Sangat tidak rasional, pada satu sisi tanah dibiarkan
terlantar dan pada satu sisi lain masyarakat dibiarkan melarat dalam
kemiskinan karena kurangnya lahan garapan untuk pertanian.
Sebagai
Negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan sesuatu yang
memiliki nilai yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat di
Indonesia, terlebih lagi bagi petani di pedesaan. Tanah berfungsi
sebagai tempat di mana warga masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga
memberikan penghidupan baginya. Tanah merupakan sumber hidup dan
kehidupan bagi manusia.
Tanah
mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai sumber daya alam
maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Karena ketersediaan tanah yang
relatif tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat seiring
pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang terus meningkat pula,
sehingga pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Badan
Pertanahan Nasional (BPN) memperkirakan, luas tanah terlantar di
Indonesia mencapai 7,3 juta hektar. Luas tersebut dua kali lebih besar
dibanding luas lahan produktif di pulau Jawa. Bahkan lebih besar
dibandingkan luas panen pada musim hujan tahun 2011 lalu. Sangat
disayangkan, Indonesia yang tanahnya begitu subur masih saja
ditelantarkan yang seharusnya bisa menjadi pemberi manfaat ekonomi
kepada pemegang hak dan masyarakat. Penelantaran tanah berdampak pada
terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya
ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses
sosial- ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah serta terusiknya
rasa keadilan dan harmoni sosial.
Untuk itu
perlu ditumbuhkan pengertian akan pentingnya arti penggunaan tanah
sesuai dengan kemampuan peruntukkannya, sehingga tercapai penggunaan
tanah yang berasaskan pemanfaatan tanah secara optimal, keseimbangan
antara berbagai keperluan dan asas kelestarian dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Tertib penggunaan tanah merupakan sarana untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah secara optimal.
Sanksi Terhadap Penelantaran Tanah
Dalam
UUPA No.5 tahun 1960 sangat mengharamkan tindakan penelantaran tanah
secara sengaja. Hal ini antara lain tersurat pada sanksi bagi penelantar
tanah, seperti dirumuskan dalam kalimat “hapusnya hak atas tanah yang
bersangkutan”, “pemutusan hubungan hukum antara tanah dengan pemilik”,
atau “tanahnya akan ditegaskan sebagai tanah negara”. Dengan demikian,
penelantaran tanah secara sengaja dapat berakibat hilangnya hak dan
putusnya hubungan hukum antara pemilik atau pemegang hak dengan tanah
yang ditelantarkan.
Selain
menjatuhkan sanksi, pemerintah juga menempuh cara lain dalam mengatasi
persoalan penelantaran tanah itu melalui apa yang disebut penertiban
tanah terlantar. Dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2010,
penertiban tanah terlantar didefinisikan sebagai proses penataan kembali
tanah terlantar agar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk
kepentingan masyarakat dan negara.
Tujuan
penertiban itu sendiri antara lain untuk menegakkan prinsip keadilan
terkait fungsi tanah sebagai sumber produksi. Sebagaimana diketahui,
hukum agraria Indonesia menganut prinsip fungsi sosial dari hak atas
tanah. Itu sebabnya, penelantaran tanah sekalipun dilakukan oleh
pemiliknya sendiri dipandang sebagai tindakan tidak adil dan melawan
hukum.
GBHN 1998
dalam bab IV tentang pembangunan 5 tahun ke 7 sub 19 mengenai
pertanahan menyatakan : “Penguasaan dan penataan penguasaan tanah oleh
negara diarahkan pemanfaatannya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Penguasaan atas tanah oleh negara sesuai
dengan tujuan pemanfaatannya perlu memperhatikan kepentingan masyarakat
luas dan tidak menimbulkan sengketa tanah. Penataan penggunaan tanah
dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah untuk mewujudkan
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah fungsi
sosial hak atas tanah, batas maksimum kepemilikan tanah khususnya
tanah pertanian termasuk berbagai upaya lain untuk mencegah pemusatan
penguasaan tanah dan penelantaran tanah. Penataan penguasaan dan
penggunaan tanah untuk pembangunan sekala besar yang mendukung upaya
pembangunan nasional dan daerah dilaksanakan dengan tetap
mempertimbangkan aspek politik, sosial, pertahanan keamanan serta
pelestarian lingkungan hidup. Penataan penguasaan dan penggunaan tanah
melalui kegiatan redistribusi tanah atau konsolidasi tanah yang
disertai pemberian kepastian hak atas tanah diarahkan untuk menunjang
dan mempercepat pengembangan wilayah, penanggulangan kemiskinan dan
mencegah kesenjangan penguasaan tanah”
Jika
ketentuan dalam GBHN 1998 tersebut dikaitkan dengan pasal 6 UUPA No. 5
tahun 1960 dapat kita dirumuskan bahwa segala hak atas tanah mempunyai
fungi sosialnya masing – masing. Dalam penyelesaian UUPA 1960 dijelaskan
bahwa seseorang tidak boleh semata – mata mempergunakan tanah hanya
untuk kepentingan pribadinya, pemakaian atau tidak dipakainya tanah yang
mengakibatkan kerugian masyarakat.
Peran Tanah dan Permasalahannya
Penggunaan
tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya,
sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya
maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidak
berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh
kepentingan umum (masyarakat).
Kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi,
hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok yaitu kemakmuran,
keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
Dalam
kehidupan masyarakat, tanah memegang peranan yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup mereka masing-masing. Oleh karena itu sebagian besar
kehidupan manusia tergantung pada tanah. Tanah merupakan tempat tinggal
bagi manusia dimana mereka hidup dan merupakan sumber penghidupan bagi
manusia terutama bagi mereka yang penghidupannya dari usaha pertanian.
Selain
itu, tanah merupakan harta yang bersifat permanen, karena dicanangkan
bagi kehidupan mendatang serta tidak dapat diperbaharui. Oleh karena
itu memerlukan penanganan yang serius dan professional. Dengan
meningkatnya pembangunan disegala bidang, baik pertanian, pemukiman,
perindustrian maka kebutuhan akan tanah semakin meningkat pula. Dengan
meningkatnya kebutuhan tanah semakin meningkat pula masalah-masalah
yang ditimbulkan oleh tanah yang harus segera diselesaikan.
Hiroyoshi
Kano menyatakan bahwa menjelang akhir abad ke-20 masalah tanah makin
menjadi isu sentral bagi gerakan sosial di Indonesia. Hampir setiap hari
dilaporkan dalam media massa adanya sengketa tanah sebagai hasil dari
perubahan-perubahan cepat dalam struktur ekonomi yang makin cepat sejak
pertengahan tahun 1980-an.
Jika
dibandingkan dengan yang terjadi di masa lalu, sengketa-sengketa yang
terjadi saat ini tidak hanya terjadi pada tanah yang digunakan untuk
pertanian tetapi juga pada tanah yang digunakan untuk semua jenis
pembangunan seperti kehutanan, real estate, pariwisata, pertambangan,
pembangunan jalan, bendungan, kawasan industri serta lapangan golf.
Demikian pula kebanyakan dari sengketa tanah itu berkaitan dengan
pertentangan hak dan kepentingan antara penduduk lokal dengan
kekuatan-kekuatan luar yang berusaha keras mencari keuntungan komersial
dari proyek-proyek tersebut.
Peraturan Pemerintah dan UU
Dalam
perspektif logika hukum Agraria mengenai tanah tersebut dapat
mempedomani apa yang diuraikan dalam UUPA No.5 tahun 1960 pasal 6, 7,
10, 14, I5, 18, 19 sesuai dengan fungsi sosial hak atas tanah, bahwa
dilarang menguasai tanah melampaui batas larangan absente, peraturan
tata guna tanah, pemeliharaan tanah, dan keharusan pendaftaran tanah.
Dalam
Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan juga bahwa negara sebagai
personifikasi dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu
membuat peraturan, menyelenggarakan dalam arti melaksanakan
(execution), menggunakan (use), menyediakan (reservation), dan
memelihara (maintenance) atas bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan
hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka
kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada Negara,
dimana di bidang eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden
(Pemerintah) atau didelegasikan kepada Menteri.
Dalam
Pasal 2 ayat (4) UUPA disebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai negara
dapat dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum
adat. Dengan demikian wewenang pemerintahan di bidang pertanahan dapat
dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah.
Pelimpahan
wewenang di bidang pertanahan menurut ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA
tersebut sepenuhnya terserah kepada Pemerintah Pusat yang berwenang
menentukan seberapa besar kewenangan di bidang pertanahan tersebut
diserahkan kepada daerah atau masyarakat hukum adat.Menurut
Budi Harsono, kewenangan negara berdasarkan Pasal 2 UUPA meliputi
bidang legislatif yang berarti mengatur, bidang eksekutif dalam arti
menyelenggarakan dan menentukan, serta bidang yudikatif dalam arti
menyelesaikan sengketa tanah baik antar rakyat maupun antar rakyat
dengan Pemerintah.
Disamping ketentuan hukum tersebut diatas juga dapat mempedomani beberapa ketentuan lain misalnya:
- Undang-undang No.5 tahun 1960 dan
PP.No.224 Tahun 1961 tentang pembatasan hak atas tanah yang lebih
terkenal dengan ketentuan landreform baik maksimum penguasaan tanah,
larangan absenteeisme dan redistribusi tanah untuk para petani.
- Undang-Undang No.3 tahun 1972 tentang ketentuan pokok transmigrasi.
- Keppres No.54 tahun 1980 tentang pencetakan sawah.
- Instruksi Menteri Dalam Negeri
No.2 tahun 1982 tentang pengertian tanah didaerah perkotaan yang
dikuasai oleh badan hukum/perorangan yang tidak
dimanfaatkan/diterlantarkan .
- Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri No 593/570 tanggal 22 Mei 1984, tentang pencabutan wewenang
Kepala Kecamatan untuk memberikan izin membuka tanah seperti yang
diatur oleh PMDN No.6 tahun 1972.
- Keputusan Menteri Dalam Negeri
No.268 tahun 1982 tanggal 17 September 1982 tentang pokok-pokok
kebijaksanaan penertiban/pemanfaatan tanah yang dicadangkan bagi dan
atau dikuasai oleh perusahaan-perusahaan.
- Keputusan bersama Menteri Dalam
Negeri, Menteri Pertanian, menteri Kehakiman No.39 tahun 1982 No.
70/KPTS/UM/2/1982 No.M.01/UM/02.06/1982, tentang syarat-syarat khusus
pemberian Hak Guna Usaha baru untuk perusahaan kebun besar dalam rangka
melaksanakan Keppres No.32 tahun 1979.
- Undang-Undang No.4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup.
- Keppres RI No.26 tahun 1988
tentang Badan Pertanahan Nasional dan Keputusan Badan Pertanahan
Nasional No.1 tahun 1989 tentang tata kerja Kanwil BPN Propinsi dan
Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kotamadya.
- PP.RI. No.24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
- PP.RI No.36 tahun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.
Diberbagai
daerah di Indonesia, nilai guna tanah begitu tinggi sekali. Hal ini
disebabkan oleh iklim pariwisata yang kini sudah tidak bisa dikatakan
sekedar meningkat tetapi terus berkembang. Investor membeli tanah
berhektar-hektar karena diperkirakan akan mempunyai potensi positif di
masa depan, tetapi tanah itu justru dibiarkan atau tidak dimanfaatkan
atau diusahakan. Ada ratusan hak atas tanah yang dikuasai investor yang
ditelantarkan dan mesti diambil langkah-langkah oleh Pemda agar segera
dapat dimanfaatkan sesuai dengan permohonan peruntukannya.
Sebagai
pelaksanaan reformasi di bidang pertanahan, masalah tanah terlantar
perlu mendapat penanganan segera oleh Pemerintah karena masalah ini
sangat rumit jika melihat adanya estalasi dari harga-harga tanah, jangan
sampai tanah dijadikan barang komoditas ataupun spekulasi yang
bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Keberadaan
tanah-tanah yang ditelantarkan dalam arti tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian haknya di suatu daerah
apabila tidak dilakukan penertiban dan penatagunaan tanah akan membawa
dampak yang sangat merugikan. Dalam penataan tanah – tanah yang
ditelantarkan, Pemerintah dapat mendorong pemegang hak untuk
mengusahakan dan memanfaatkan tanah tersebut sesuai dengan keadaan,
sifat, dan tujuan pemberian haknya sehingga dapat mewujudkan visi misi
daerah yang bersangkutan.
UUPA dalam
Pasal 6 menyebutkan bahwa ” Semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial”, Pasal 10 mewajibkan para pemegang hak atas tanah mengerjakan
dan mengusahakan sendiri secara aktif, Pasal 15 mewajibkan kepada
pemegang hak atas tanah untuk memelihara, menambah, dan menjaga
kelestarian tanahnya. Hal ini juga diikuti dengan ketentuan sanksi yaitu
pada Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, dan Pasal 40 huruf e
yang menentukan bahwa semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan
jatuh ke tangan negara apabila tanah tersebut ditelantarkan.
Sesuai
dengan TAP MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang
berkaitan dengan upaya penertibannya oleh pemerintah merupakan hal yang
penting untuk dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu
upaya pembaharuan di bidang agraria. Dengan demikian penertiban tanah
terlantar merupakan persoalan yang baru berkembang sehingga belum banyak
penelitian yang mengkaji persoalan tanah terlantar.
Data dari
BPN menyatakan bahwa sebanyak 7,3 juta hektar tanah dipastikan tanah
yang subur dan berada di luar tanah hutan. Pemerintah berencana akan
memenfaatkan tanah-tanah terlantar itu antara lain untuk:
- Diperuntukkan untuk masyarakat dalam
rangka reforma agraria. Rencananya Peraturan Pemerintah (PP) mengenai
reformai agraria bulan April 2010 ini akan selesai.
- Diperuntukkan untuk kepentingan
strategi negara dan pemerintah di antaranya yaitu untuk ketahanan
pangan, ketahanan energi, dan pengembangan perumahan rakyat.
- Diperuntukkan untuk cadangan umum
negara, tujuannya di antaranya untuk relokasi masyarakat jika ada
bencana, relokasi masyarakat jika ada keperluan penting dan kepentingan
hankam juga pemerintah.
Ketahanan Pangan
Penelantaran
tanah memicu berbagai persoalan. Dari perspektif ketahanan pangan,
banyaknya tanah terlantar menghambat upaya mewujudkan ketahanan pangan.
Ketahanan pangan dapat diwujudkan, selain melalui peningkatan
produktifitas lahan pertanian, juga ketersediaan lahan produksi.
Ketahanan
pangan ini merupakan suatu masalah yang sangat serius bagi sebuah
negara. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, pemerintah
menargetkan surplus beras sebanyak 10 juta ton pada tahun 2014. Akan
tetapi, meski Indonesia selalu dikenal sebagai negara agraris, ternyata
untuk mencapai target ini bukanlah hal mudah. Hal utama kendalanya
yaitu lahan pertanian yang semakin sempit akibat dari alih fungsi
lahan.
Di sisi
lain, di banyak daerah di Indonesia, bahkan di daerah permukiman pun
sering ditemukan lahan-lahan terlantar yang tak dimanfaatkan oleh
pemiliknya. Maka, demi terwujudnya ketahanan pangan di Indonesia,
pemerintah harus melakukan terobosan-terobosan untuk kembali
memaksimalkan sektor pertanian. Salah satunya adalah dengan
mengoptimalisasi lahan terlantar.
Dari sisi
ekonomi, penelantaran tanah menghambat upaya penanggulangan kemiskinan,
terutama di kalangan rakyat yang menggantungkan hidup pada lahan
garapan. Banyaknya tanah yang dibiarkan terlantar menghambat upaya
menciptakan lapangan pekerjaan. Dan seterusnya semakin banyak tanah yang
sengaja dibiarkan terlantar, semakin terbatas kapasitas peningkatan
kesejahteraan, pemberantasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan
pekerjaan.
Memanfaatkan
tanah terlantar tentu akan jauh lebih baik ketimbang melepas kawasan
hutan untuk dijadikan lahan tanaman pangan. Belum lama ini dikabarkan
bahwa Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan akan melepas kawasan hutan di
tiga provinsi (Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Barat) seluas 260 ribu hektar untuk tanaman pangan. Langkah ini
merupakan bagian dari rencana mewujudkan surplus beras 10 juta ton pada
tahun 2014. Kedua, karena lahan terlantar kebanyakan terdapat di luar
pulau Jawa, maka pemanfaatan tanah terlantar menjadi lahan pertanian
produktif akan mendorong bertambahnya sentra-sentra padi di luar pulau
Jawa. Dengan demikian, pemanfaatan tanah terlantar dapat membantu
pemerintah menciptakan ketahanan pangan serta mengantisipasi merosotnya
luas lahan pertanian di pulau Jawa akibat konversi.
Pendayagunaan Tanah Terlantar Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan
Sesuai dengan PP No. 11 tahun 2010 yang
merupakan pengganti PP 36/1998 yang dirasa sudah tidak memadai lagi
apabila dipakai sebagai acuan dalam penyelesaian penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar, perlu adanya aturan pelaksanaan untuk
pendayagunaan tanah terlantar. Pendayagunaan tanah terlantar merupakan
satu tahapan yang sangat strategis yang mekanismenya harus dapat
memastikan bahwa manfaat dari tanah terlantar yang telah ditertibkan itu
dapat dikembalikan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Tanpa pendayagunaan yang efektif proses penertiban
tanah terlantar menjadi tidak berarti dalam kerangka pengelolaan
pertanahan di Indonesia.
Kegiatan
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar berdasarkan PP 11/2010,
diawali dengan 4 (empat) prinsip pengelolaan pertanahan dan diakhiri
dengan agenda reforma agraria, program strategis nasional dan cadangan
negara terhadap tanah-tanah yang sudah ditetapkan sebagai tanah
terlantar dan dicabut haknya. Prinsip pengelolaan pertanahan dan outcome
dari regulasi ini merupakan irisan yang dapat dijadikan entry point
bagi pelaksanaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong bagi
pemerintah kabupaten/kota.
Pendayagunaan
tanah terlantar ini merupakan persoalan multisektoral yang tidak dapat
dilaksanakan tanpa melibatkan partisipasi dan kontribusi dari berbagai
sektor atau lembaga terkait lainnya. Selain itu, setiap sektor terkait
tentu memiliki keterkaitan dengan peraturan perundangannya sendiri.
Dalam kaitan dengan ini, potensi untuk terjadinya berbagai komplikasi
hukum harus diwaspadai dalam rangka mengelola kebijakan pelaksanaan
pendayagunaan tanah terlantar. Absennya kewaspadaan atas hal tersebut
dapat menghambat pelaksanaan pendayagunaan itu sendiri.
Dengan
adanya pendayagunaan tanah terlantar yang sesuai dengan PP No. 11 tahun
2010, kerangka kebijakan dalam pelaksanaan pendayagunaan tanah
terlantar ini harus dapat memastikan berbagai hal, diantaranya :
- Pendayagunaan tanah terlantar ini
dapat berkontribusi secara berarti dalam mendukung tujuan pengelolaan
pertanahan di Indonesia, khususnya dalam mengatasi persoalan-persoalan
di masyarakat, yaitu persoalan kesenjangan sosial, ekonomi dan
kesejahtaraan rakyat serta penurunan kualitas lingkungan, dan terutama
dalam mewujudkan ketahanan pangan.
- Dapat menghindarkan (meminimalkan) komplikasi-komplikasi hukum ketika dilakukan pendayagunaan tanah terlantar.
Dalam
upaya pendayagunaan tanah terlantar diharapkan akan memberikan pengaruh
besar untuk mewujudkan ketahanan pangan Indonesia. Pendayagunaan tanah
terlantar ini akan meningkatkan jumlah produksi pangan nasional dan
memantapkan ketahanan pangan. Dengan memantapkan katahanan pangan,
pemerintah dan berbagai pihak perlu juga mengetahui beberapa hal yang
sangat mendukung kegiatan ini. Diantaranya yaitu perluasan lahan
pertanian yang dilakukan dengan pengembangan di daerah-daerah yang bukan
termasuk sentra produksi beras terbesar di Indonesia (Jawa Timur, Jawa
Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, dan
Nusa Tenggara Barat) yang masih banyak mempunyai lahan kosng seperti
yang telah dijelaskan diatas.
Selain
itu, pemerintah perlu melakukan peningkatan dukungan terhadap para
petani yang meliputi layanan pembiayaan, akses informasi dan teknologi,
infrastruktur produksi. Dengan adanya upaya ini diharapkan para petani
tidak beralih profesi dari petani menjadi profesi yang lain.
Hal terakhir yang perlu dilakukan dan
diperhatikan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan yaitu dengan
diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan dilakukan melalui
pengembangan pangan karbohidrat khas Nusantara seperti sukun, talas,
garut, sagu, jagung dan lain-lain, peningkatan produksi dan ketersediaan
sumber pangan protein hewani (ikan, ternak) dan nabati (hortikultura),
serta pengembangan produk melalui peran industri pengolahan untuk
meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan khas Nusantara.
Dengan
melakukan ketiga hal ini serta pembenahan terhadap masyarakat mengenai
perlunya menjaga sumber daya alam sebagai salah satu faktor untuk
mendukung tercapainya ketahanan pangan nasional, perwujudan dari
pembangunan dan ketahanan pangan akan tercapai dengan baik.
Pembangunan
ketahanan pangan sebenarnya merupakan tugas dari waktu ke waktu untuk
semua pihak di Negara ini. Pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan
ketahanan pangan meliputi produsen, pengusaha, konsumen, aparatur
pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Mengingat
banyaknya pihak terlibat, maka diperlukan kerjasama yang sinergis dan
terarah antar pihak dan kontrol yang menyeluruh dari pihak yang
tertinggi, yaitu aparatur pemerintahan.
Tanpa
adanya kesinergisan antar lini, tentunya ketahanan pangan tidak
terbentuk dan kerawanan pangan terjadi. Pada saat ini ancaman kerawanan
pangan terjadi karena beberapa hal,diantanya yaitu:
- Tingkat pertumbuhan penduduk tidak
dapat diturunkan. Semakin besar tingkat pertumbuhan, maka jumlah
penduduk tiap tahunnya akan meningkat, sehingga kebutuhan terhadap
pangan meningkat.
- Tidak adanya diversifikasi makanan
pokok. Makanan pokok Indonesia yang sama, yaitu beras, menyebabkan
kebutuhan beras meningkat tiap tahunnya. Sehingga ketika ada penipisan
stok terhadap beras, terjadi ketidakstabilan perekonomian di Indonesia.
- Luas lahan petani semakin sempit
dan terus terkonversi. Lahan pertanian di Indonesia saat ini semakin
menipis dengan adanya konversi lahan menjadi gedung-gedung. Semakin
tipisnya lahan pertanian, maka semakin menurun produksi pertanian.
- Kurangnya dukungan terhadap para petani yang meliputi layanan pembiayaan, akses informasi dan teknologi, infrastruktur produksi.
Keempat hal inilah yang perlu kita perbaiki untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam pemanfaatan tanah-tanah terlantar.
Tujuan Pembangunan Ketahanan Pangan
Tujuan
dari ketahanan pangan yang ingin dicapai dengan pemanfaatan lahan
terlantar harus diorentasikan untuk pencapaian pemenuhan hak atas
pangan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan ketahanan pangan
nasional. Berjalannya sistem ketahanan pangan tersebut sangat
tergantung dari adanya kebijakan dan kinerja sektor ekonomi, sosial dan
politik. Kebijakan pemerintah dalam aspek ekonomi, sosial maupun
politik sangat mempengaruhi terhadap ketahanan pangan.
Pembangunan
ketahanan pangan harus dipandang sebagai bagian yang tidak terlepas
dari wawasan ketahanan nasional. Oleh karena itu pemerintah berupaya
terus memacu pembangunan ketahanan pangan melalui program-program yang
benar-benar mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan
ketahanan pangan dengan pendayagunaan tanah terlantar dapat dilakukan
melalui reforma agraria. Reforma agraria adalah restrukturisasi
penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria,
terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Reforma
agraria ini dilaksanakan melalui dua jalan. Jalan pertama adalah
penataan sistem politik dan sistem hukum pertanahan dan keagrariaan, dan
jalan kedua adalah landreform plus, yaitu landrefom yang di dalamnya
menampung ciri terpenting yaitu redistribusi dan distribusi atas aset
tanah pada masyarakat yang berhak, yang kemudian disertai pula dengan
mekanisme bagi negara untuk memberikan jalan-jalan bagi masyarakat yang
ikut dalam program redistribusi dan distribusi ini untuk bisa
memanfaatkan tanahnya secara baik. Ini dimaknai juga sebagai asset
reform ditambah dengan access reform. Asset reform adalah menata ulang
pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Access reform
adalah pembukaan akses terhadap sumber-sumber ekonomi (keuangan,
manajemen, teknologi, pasar), dan sumber-sumber politik (partisipasi
politik).
Dalam
RPJMN 2010-2014, sasaran pembangunan bidang pangan adalah terciptanya
kemandirian dalam bidang pangan pada akhir tahun 2014 ditandai dengan
meningkatnya ketahanan pangan rakyat, berupa perbaikan status gizi ibu
dan anak pada golongan masyarakat yang rawan pangan, membaiknya akses
rumah tangga golongan miskin terhadap pangan, terpelihara dan terus
meningkatnya kemampuan swasembada beras dan komoditas pangan utama
lainnya, menjaga harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat kelompok
pendapatan menengah bawah, menjaga nilai tukar petani agar dapat
menikmati kemakmuran, dan meningkatkan daya tawar komoditas Indonesia
dan keunggulan komparatif (comparative advantage) dari sektor pertanian
Indonesia di kawasan regional Asia dan Global.
Ketahanan
pangan merupakan salah satu dari 11 prioritas dengan substansi inti
program aksinya yang meliputi pengembangan kawasan dan tatat ruang
pertanian, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, adaptasi terhadap
perubahan iklim, peningkatan penelitian dan pengembangan, serta
peningkatan kualitas gizi dan keanekaragaman pangan melalui peningkatan
pola pangan harapan. Berdasarkan hal tersebut, pendayagunaan tanah
terlantar dapat diarahkan untuk mendukung program aksi ketahanan pangan
melalui pengembangan lahan untuk pertanian pangan dan ikut serta dalam
mendorong peningkatan kualitas gizi dan keanekaragaman pangan
masyarakat.
PENUTUP
Kesimpulan
Penelantaran
tanah merupakan tindakan yang tidak berkeadilan, yang dapat
menyebabkan hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi
tanah. Selain itu, penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya
pencapaian berbagai tujuan program pembangunan.
Penelantaran tanah merupakan pelanggaran
terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atau pihak
yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Negara memberikan hak atas
tanah atau hak pengelolaan kepada pemegang hak untuk diusahakan,
dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik.
Dalam
mewujudkan ketahanan pangan nasional dengan pemanfaatan tanah terlantar
perlu adanya regulasi yang sangat relevan dan mengarah kepada
ketercapaian tujuan ketahanan pangan. Tanah terlantar perlu diupayakan
pemanfaatannya demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat supaya tidak
menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan kesejahteraan rakyat,
serta menurunkan kualitas lingkungan.
Dari
perspektif ketahanan pangan, banyaknya tanah terlantar menghambat upaya
mewujudkan ketahanan pangan. Ketahanan pangan dapat diwujudkan, selain
melalui peningkatan produktifitas lahan pertanian, juga ketersediaan
lahan produksi. Dengan ketersediaan lahan produksi yang luas yaitu
pemanfaatan lahan terlantar akan memfasilitasi dan mendukung ketahanan
pangan.
Ketahanan
pangan dapat dicapai dengan baik apabila ditegakkannya Peraturan
Pemerintah No. 11 Tahun 2010 yang merupakan acuan dalam penyelesaian
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Pendayagunaan tanah
terlantar ini merupakan satu tahapan yang sangat strategis yang
mekanismenya harus dapat memastikan bahwa manfaat dari tanah terlantar
yang telah ditertibkan itu dapat dikembalikan untuk sebesar-besarnya
untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sebagai
pelaksanaan reformasi di bidang pertanahan, masalah tanah terlantar
perlu mendapat penanganan segera oleh Pemerintah karena masalah ini
sangat rumit jika melihat adanya estalasi dari harga-harga tanah, jangan
sampai tanah dijadikan barang komoditas ataupun spekulasi yang
bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Keberadaan
tanah-tanah yang ditelantarkan dalam arti tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian haknya di suatu daerah
apabila tidak dilakukan penertiban dan penatagunaan tanah akan membawa
dampak yang sangat merugikan. Dalam penataan tanah – tanah yang
ditelantarkan, Pemerintah dapat mendorong pemegang hak untuk
mengusahakan dan memanfaatkan tanah tersebut sesuai dengan keadaan,
sifat, dan tujuan pemberian haknya sehingga dapat mewujudkan visi misi
daerah yang bersangkutan.
Saran – saran
- Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010
sebaiknya ditingkatkan menjadi Undang-undang dan mengundangkan
Peraturan pelaksana, hal ini adalah mengatur lebih terperinci tentang
tanah-tanah terlantar yang belum diatur oleh PP No.36 tahun 1998.
- Perlu peningkatan pendayagunaan
tanah terlantar untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional demi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
- Perlu wujud nyata dari GBHN 1998 dalam bab IV tentang pembangunan 5 tahun ke 7 sub 19 mengenai pertanahan.
- Perlu regulasi yang relevan
disetiap daerah dalam pemanfaatan tanah terlantar dan penegakkan hukum
dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
- Penegakkan hukum terhadap
perseorangan yang memanfaatkan tanah terlantar hanya untuk kepentingan
pribadinya yang telah lepas daftar kepemilikan.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyani, Anny. 2007. Pemanfaatan Lahan Terlantar untuk Menunjang P2BN. Bogor
Hanani, Nuhfil. 2010. Paradigma Ketahanan pangan Indonesia. Jakarta
Suryani, Luh Putuh. 2011. Penertiban dan Pendayagunaan Tanah terlantar. Denpasar
Parlindungan, Chalisah. 2011. Tanah Terlantar Menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 36 Tahun 1998. Medan
Sutaryono. 2011. Sinkronisasi Pemanfaatan Tanah Kosong & Penertiban Tanah Terlantar.
Yogyakarta.
Anonim. 2010. Menuju Ketahanan Pangan Dengan Kebijakan Pertanahan. Jakarta